KUA KEC.SUMBERSARI KAB.JEMBER

KUA Sumbersari adalah salah satu dari 31 KUA di Kabupaten Jember yang mengemban amanah Negara dalam hal pelayanan publik khususnya pelayanan seputar pernikahan

HAJI

KUA Sumbersari bekerja sama dengan KBIH, melayanai masyarakat dalam pendaftaran dan pembinaan ibadah Haji

AKAD NIKAH

KUA Sumbersari Menangani 7 Kelurahan dalam wilayah hukumnya,yakni : Sumbersari, Kebonsari, Karangrejo, Tegal Gede, Antirogo, Wirolegi, dan Kranjingan

WAKAF

KUA Sumbersari bukan hanya melayani pelayanan pernikahan saja akan tetapi juga dalam hal WAKAF, guna membantu masyarakat yang ingin beramal guna kepentingan umat

Alur Pencatatan Nikah

Calon Pengantin membawa pengantar RT/RW, kemudian mengurus N1-N4/N5 di kelurahan setempat kemudian melaporkannya di KUA

Selasa, 12 Juli 2016

Halal Bihalal Menumbuhkan Kasih Sayang

Secara harfiah silaturahmi berarti menghubungkan kasih sayang. Hubungan kasih sayang yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan, kesetiakawanan, dan saling mengasihi baik antara sesama kaum muslim maupun antara kaum muslim dengan non-muslim. Hubungan itu tak jarang rusak akibat ulah dan tindakan kita sendiri. Karena itulah, dalam bulan Ramadahn dan rangkaian sesudahnya, yakni Idul Fitri, kita dianjurkan menjalin kembali dan mempererat tali silaturahmi dengan saling maaf-memaafkan satu sama lain. 

Momentum itu menjadi sangat tepat dengan hadirnya apa yang biasa kita sebut sebagai 'halal bihalal', yakni suatu forum yang secara substantif sesungguhnya sangat baik dan mulia bagi perekatan dan wahana membangun persaudaraan satu dengan lainnya. Jadi, sebagai sebuah wahana, antara silaturahmi dan halal bihalal saling melengkapi. Yang satu menghalalkan kepada yang lain dalam hal-hal yang baik tentunya, di mana puncak halal itu ya saling memaafkan. Sebaliknya, kita juga akan mendapatkan banyak manfaat dengan hadirnya forum tersebut, khususnya bila kita kaitkan dengan kondisi sosio-kultural saat ini. 

Maksudnya, dalam kondisi krisis multidimensi saat ini, halal bihalal maupun silaturahmi bisa menjadi alternatif solusi?
Saya pikir begitu. Bangsa kita sekarang ini kan sudah di luar kendali. Artinya, apa yang terjadi saat ini disebabkan hilangnya disorientasi, yakni pemerintah menjalankan pemerintahannya tanpa orientasi yang jelas, sementara rakyat terpenjara dalam kubang krisis dan tidak mendapatkan orientasi yang jelas dari pemerintah yang mereka percaya melalui pemilu itu. 

Disorientasi inilah yang sebenarnya sangat mengancam jalannya kita sebagai bangsa ke depan, apakah masih mampu survive secara wajar atau hanya menjadi bangsa dan negara yang terus terjerat dalam kubang krisis. Disorientasi ini pula yang menyebabkan ancaman separatisme di berbagai daerah menjadi marak. Karena itulah silaturahmi dan halal bihalal menjadi sangat relevan, bahkan dapat menjadi stimulus bagi penyelesaian suatu masalah. 

Apa ada teks dasar dari silaturahmi dan halal bihalal?
Substansi silaturahmi itu jelas ditegaskan dalam beberapa ayat Alquran dan Hadis Rasulullah. Bila halal bihalal, itu kan hanya istilah saja. Makna dan substansinya sama dengan anjuran atau nilai-nilai silaturahmi. Dasar silaturahmia itu misalnya dapat kita temukan dalam surat An-Nisaa' ayat 1, dengan penegasan kalimat arham, yang menjadi kata dasar silaturahmi. Firman Allah SWT: ''Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. 

Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan kerabat. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.'' (An-Nisaa': 1) Juga dalam ayat yang menyebutkan, ''...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada...'' (QS: 24: 22), serta, ''Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikannya atau memaafkan kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.'' (QS: 4: 149). Hadis Nabi juga banyak mengajarkan pentingnya silaturahmi. 

Misalnya sabda Rasulullah, ''Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa?
Yaitu engkau damaikan orang-orang yang bertengkar, dan barangsiapa yang ingin panjang usia dan banyak rezeki, sambungkanlah tali silaturahmi.'' (HR Bukhari-Muslim). Jadi, jelas silaturahmi dan halal bihalal adalah bagian dari perintah agama. Rasulullah sendiri telah memberi contoh bagaimana pentingnya silaturahmi itu kepada para sahabat. Beliau tak hanya menunggu didatangi, tapi bahkan Rasul terlihat sering mendatangi, menjalin silaturahmi baik dengan sesama umat Islam maupun dengan umat agama lain. |

Sebagai sebuah tradisi, apakah halal bihalal hanya ada di Indonesia?
Secara keseluruhan, perayaan Idul Fitri memang kita rasakan keberadaannya di Indonesia. Saya tidak menemukan, khususnya di negara-negara Timur Tengah, adanya perayaan ini. Bagi banyak negara di dunia Arab kan justru menjadikan Hari Raya Qurban (Idul Adha) sebagai hari raya yang lebih besar ketimbang Idul Fitri. Perayaannya sangat meriah justru di saat Idul Adha (Qurban) itu. Nah, perayaan lebaran atau halal bihalal di Indonesia itu kan kalau kita tilik lebih dalam sesungguhnya menyangkut satu sistem.

Artinya, rentetan perayaan halal bihalal itu telah ada sejak menyambut puasa itu sendiri. Misalnya, di beberapa daerah memiliki adat menyambut datangnya Ramadhan, seperti di Sumatera Barat ada Mandi Balimau, atau tradisi orang ziarah, dan lain sebagainya. Kemudian selama puasa misalnya ada tradisi memukul bedug atau keliling kampung dengan membawa obor diselingi syiar-syiar keagamaan. Pada tingkatan terakhir, yakni minggu terakhir hingga lebaran, berbagai tradisi itu dilengkapi dengan apa yang disebut dengan mudik ke kampung. Itu kalau kita cermati kan sebenarnya muaranya sama, yakni saling bertemu, kemudian memberi salam kedamaian dengan bersalaman (memaafkan). Secara substansi kan juga sama dengan halal bihalal. Hanya saja forumnya yang berbeda. Nah, lebaran itu menjadi puncak saling silaturahmi itu, yang disebut halal bihalal. Tapi faktanya, mudik itu kan sesungguhnya lebih pada simbolik atau lahiriyah, namun pesan spiritual mudik hampir-hampir tak tampak. 

Menurut Anda, gejala apa ini? 
Itu tak ditampik. Kita tahu bahwa secara harfiah, mudik itu adalah pulang kampung, katakanlah dari kota ke kampung. Tapi, secara simbolik mudik juga berarti return to origion, kembali kepada asal. Kembali ke asal kultural, seperti orang-orang yang berada di perantauan kembali ke asalnya, yakni kampung halaman. Dalam pengertian simbolis yang lebih dalam lagi, adalah kembali kepada kesucian. Sayangnya, masyarakat kita ini baru mampu menangkap makna simbolis yang pertama tadi, sehingga pesan-pesan atau makna mudik sebagai sebuah momentum spiritual itu hilang. 

Warna 'spiritual mudik' jadi tak ada. Mestinya mudik itu dapat ditangkap dengan pemahaman bahwa mudik itu kembali kepada asal spiritual kita. Makna semacam ini yang sangat ditekankan dalam ibadah puasa dan Idul Fitri, yakni kembali kepada fitrah (kesucian). Fitrah itu termasuk sifat dasar, sifat suci manusia yang berkecenderungan kepada hal yang baik, hanif. Kita harus kembali kepada sikap hanif (lembut) kita, seperti menerima kebenaran, menegakkan keadilan, dan seterusnya. Kalau itu dapat kita kembangkan, saya kira kita baru dapat memahami makna mudik di dalam pengertian simbolisme spiritualisme yang lebih tinggi. 

Agar tidak 'mubazir', kiat apa yang perlu dilakukan agar halal bihalal lebih bermanfaat dalam konteks mempererat persaudaraan antar-intern agama, antar-agama, dan persaudaraan bangsa?
Kita harus kembali kepada makna hakiki dari silaturahmi dan halal bihalal itu sendiri. Memang harus diakui, selama ini halal bihalal lebih bersifat seremonial, sekalipun tidak menafikkan perayaan yang demikian juga mencerminkan syiar agama yang cukup baik. Hanya saja, agar lebih maknawi, pesan-pesan dari nilai spiritual halal bihalal itu yang mestinya mendapat prioritas pemahaman, sehingga akan menjadi landasan dalam setiap tindakan dan sikap kita. Itu kan sangat indah.

Jadi hemat saya, harus ada pemahaman dan penangkapan yang benar akan pesan ritualitas halal bihalal. Dengan demikian, momentum baik halal bihalal itu tidak kehilangan substansi keagamaan. Dalam konteks ini pula, para pemimpin kita sudah semestinya melakukan halal bihalal dalam pengertian hijrah, yakni hijrah dari sikap memihak kepentingan kelompok atau asing, kepada kepentingan rakyat. Sekaligus merenungi untuk kemudian memikirkan langkah-langkah ke depan. 

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More